Pesantren Rakyat Online – Pendidikan sejatinya adalah sarana untuk mencerdaskan manusia dan mengantarkan manusia dalam mencapai tujuan yang ia cita-citakan. Namun, hari ini pendidikan berubah menjadi salah satu instrumen untuk memuaskan penguasa atau pemilik modal. Kemudian pola-pola tersebut dikenal luas dengan istilah industrialisasi pendidikan.
Fenomena ini bisa kita lihat dari berbagai lembaga pendidikan yang ada. Apakah sungguh-sungguh menyiapkan anak didik untuk bisa berpikir, mandiri dan merdeka? Saya kira tidak. Mereka mengarahkan anak sesuai dengan kebutuhan perusahaan, instansi yang akan memakainya sebagai tenaga terampil yang murah dan tanpa jaminan masa depan yang jelas.
Sekolah mestinya menyiapkan anak atau manusia yang siap berpikir, mandiri dan merdeka. Tapi yang terjadi adalah anak atau manusia yang siap jadi pekerja atau dipekerjakan. Doktrinasi mental siap jadi pekerja ini terjadi di sekolah, lingkungan sosial bahkan merasuk pada lingkungan keluarga.
Baca juga: Ngaji ala Jagong Maton: Berbuat Baik Tanpa Berpikir Sebab dan Akibat
Akibat dari model pendidikan yang berorientasi pada pekerjaan, justru berakibat banyaknya orang tidak bekerja. Selain pekerjaan yang telah dilatihkan tidak sesuai dengan kemampuan, pabrik atau perusahaan juga instansi sangat terbatas menerima pegawai atau karyawan.
Anak didik alumni sekolah kejuruan, yang tertampung dalam pekerjaan yang sesuai tidak lebih 15%. Sementara sisanya adalah masih kebingungan mencari pekerjaan. Inilah yang terjadi bahwa masuk kejuruan berharap keluar mendapatkan pekerjaan mapan, tetapi terjadi sebaliknya. Dari mereka diambil hanya sepuluh besar, dua puluh besar itupun kerja kontrak yang siap didepak kapan saja.
Mengapa hal ini terjadi, karena banyak lembaga pendidikan yang berorientasi memperbanyak murid demi dana BOS (bantuan operasional sekolah) dan sumbangan pendidikan dari wali murid yang dinamakan apa saja, misalnya pendaftaran, daftar ulang, infaq, shodaqoh dan sebagainya. Mentok-mentoknya bukan manusianya yang berkualitas, tetapi gedungnya yang megah.
Gedung megah ini berlanjut sebagai salah satu alat persuasif dan sebagai indikator sekolah maju. Apakah benar begitu? Sementara kualitas pendidik lambat perkembangannya, tidak seiring berjalan dengan jumlah dan tingginya gedung yang menjulang.
Baca juga: Upgrading Skill: Ustadzah Pesantren Rakyat Belajar Batik Eco Print
Masyarakat sendiri juga termakan pengetahuan yang telah dikonstruk oleh sekian banyak informasi, baik kasak-kusuk dari ‘combe-combe’ sekolah tertentu, dari framing media dan sebagainya. Sehingga mencarikan pendidikan anaknya yang penting gedungnya menjulang, catnya bagus, seragamnya seperti pegawai dan mahal. Semahal apapun dibayar, dengan harapan anaknya seakan mendapatkan pendidikan berkualitas, walau brosur yang mereka baca hanyalah tulisan di atas kertas.
Akhirnya, manusia hanya sebagai komoditi, manusia sebagai dagangan, manusia sebagai alat untuk mengeruk keuntungan kelompok tertentu, dengan dalih ini dan itu. Memang, undang-undang sistem pendidikan sudah bagus, tetapi praktik di bawahnya selalu saja jauh api daripada panggang.
Tetap saja rakyat kecil selalu jadi korban. Kalau ini terus terjadi maka sesuailah dengan awal munculnya pendidikan yang digagas oleh Belanda, dengan alasan balas budi yang substansinya adalah ingin menciptakan tenaga murah.
Tulisan sederhana ini hanya untuk menyadarkan diri saya sendiri agar anak saya setidaknya tidak saya orientasikan menjadi pekerja atau orang yang siap bekerja. Namun, saya siapkan jadi manusia yang bisa berpikir, mandiri, dan merdeka.
Ditulis oleh Kiai Sableng, Kiai Abdullah SAM, S.Psi., M.Pd., Pengasuh Pesantren Rakyat Al-Amin, 9 Agustus 2023