Ngaji ala Jagong Maton: Sikap

Jagong Maton

Pesantren Rakyat Online – Ketika terjadi fenomena tertentu, apa itu fenomena? Fenomena dari bahasa Yunani phainomenon, yang berarti apa yang terlihat. Sementara itu dalam bahasa Indonesia bisa berarti gejala, misalkan gejala alam, hal-hal yang dirasakan dengan pancaindra, hal-hal mistik atau klenik.

Semua fenomena yang terjadi, misalnya saja fenomena gempa, banjir, horor, dapat nikmat, atau apapun itu, sebenarnya tergantung sikap kita bagaimana merespon fenomena tersebut.

Fenomena nikmat kecil tapi kita sikapi dengan rasa syukur yang tinggi dan dalam, maka nikmat kecil itu betul-betul bermakna dan sangat bermakna. Nikmat yang besar jika kita anggap remeh dan sikap hati dan pikiran kita tidak bersyukur maka nikmat besar itu tidak akan bermakna.

Apalagi ketika melihat atau tertimpa bencana, musibah, misalnya banjir, bangkrut, patah hati, kecewa, dan sebagainya, jika sikap hati kita luas dan luwes dan mau mengembalikan semua ujian, nikmat sudah digariskan oleh Allah subhanahu wata’ala. Maka, terkadang kita bisa menemukan ribuan makna serta hikmah di balik semua kejadian-kejadian yang menurut orang lain adalah hal buruk.

Baca juga: Mr. Tondem: Nilai Rapot 10

Kedewasaan seseorang bukan tergantung berapa usianya, apa jabatannya, dimana kedudukannya, jadi apa, tetapi kedewasaan tergantung berapa masalah yang ditemui dan berapa masalah yang dihadapi dan diselesaikan serta mampu memaklumi semua kejadian.

Untuk itu belajar menyikapi segala sesuatu dengan wajar itu penting, agar kita tidak mudah kemerungsung terhadap sesuatu fenomena yang kelihatannya adalah gangguan atau musibah. Ternyata Allah sedang mengajari kita agar semakin memahami bahwa di dalam kehidupan selalu mengalir persoalan kehidupan yang silih berganti dan bagaimana sikap hati serta pikiran kita menganggap semua fenomena adalah nikmat yang luar biasa.

Sikap hati, sikap pikiran yang kemudian menjadi sikap diri dalam bentuk perilaku yang nampak, merupakan akumulasi dari ilmu yang kita miliki, pengalaman yang pernah dialami. Maka dari itu ilmu dan pengalaman diramu menjadi sesuatu yang padu, kemudian terus berlatih agar diri ini tidak mudah kemrungsung, tidak mudah kagetan, gumunan, terhadap banyak kejadian yang menurut orang positif atau negataif, dan menurut kita adalah hal yang wajar-wajar saja.

Toh sejak ribuan tahun lalu yang namanya susah kemudian bungah (senang) sudah biasa, bungah berubah jadi susah juga umum. Kaya jadi miskin, miskin jadi kaya, terhormat kemudian korupsi dan menjadi hina juga ribuan. Bencana gunung meletus sudah ribuan kali, banjir bandang, sunami, muncul tenggelam kerajaan dan negara-negara, perusahaan yang jaya kemudian hancur, yang hina jadi mulia, yang mulia macak (tampil) hina, yang hina merasa mulia dan terhormat. Orang pintar dianggap bodoh, orang bodoh dianggap pintar kemudian menjadikan jutaan orang keblinger. Dan itulah jalan Allah yang dititahkan pada anak cucu Adam yang hina dan merasa mulia ini. Ngunuae sek (begitu dulu) Alfatihah.

Ditulis oleh Kyai Sableng, KH. Abdullah SAM, S.Psi. Pengasuh Pesantren Rakyat Al-Amin. 27 Januari 2020

5 Likes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.