Sudah lama saya berkeinginan melihat langsung kegiatan pesantren rakyat, yang sudah begitu lama saya mendengarnya, tetapi oleh karena ksibukan, keinginan itu baru pada hari Kamis tanggal 14 Mei 2015, bisa saya penuhi. Kebetulan saja, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang dipimpin oleh Dr.Hj. Mufidah, memiliki kegiatan di tempat itu dan saya atas kebaikannya diajak sekaligus diminta memberi ceramah dalam rangka peringatan Isra’ Mi’raj.
Saya datang ke Pesantren Rakyat di Sumber Pucung, bersama para pimpinan univeritas, fakultas, beberapa dosen, dan juga mahasiswa yang aktif dalam kegiatan Posdaya di tempat itu pula. Selama dalam perjalanan menuju lokasi dimaksud, teman-teman yang berjumlah sekitar 10 orang di dalam mobil memperbincangkan tentang pesantren itu sekalipun secara garis besarnya. Diperoleh informasi bahwa dulu di lokasi pesantren rakyat itu adalah merupakan tempat lokalisasi wanita tuna susila terbesar di Malang. Mendengar keterangan itu terbayang bahwa di tempat itu pasti juga tumbuh subur penyimpangan sosial lainnya, seperti perjudian, meminum minuman keras, narkoba, dan lain-lain. Di tempat seperti itulah pesantren rakyat yang dirintis oleh Ustadz Abdullah Sam, alumni Fakultas Psikologi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, ternyata berhasil
Para teoritikus pendidikan selalu menyarankan, dalam membangun lembaga pendidikan agar memilih lingkungan yang tepat. Lembaga pendidikan yang berada pada lingkungan yang buruk, maka sebagus apapun sarana dan prasarana, tenaga pengajar, manajemen dan kepemimpinan, kurikulum, dan lain-lain, tidak akan ada artinya. Bertolak belakang dari teori pendidikan itu, Ustadz Abdullah Sam sengaja menjadikan tempat yang nyata-nyata tidak tepat untuk lingkungan pendidikan itu justru dipilih untuk mengembangkan pesantren.
Rupanya bagi Ustadz Abdullah Sam, yang memiliki pengalaman lama mengaji di pesantren, tempat yang dianggap penuh dengan penyakit sosial justru harus dibangun pesantren. Lembaga pendidikan Islam tradisional harus mampu membuat perubahan masyarakat, apapun keadaannya. Tidak selayaknya bagi pesantren hanya memilih lokasi yang sudah baik dan tidak menantang. Pesantren, menurut Ustadz Abdullah, harus berani menghadapi tantangan sebesar apapun, dan kemudian menjawabnya. Kebanyakan pesantren dalam sejarahnya selalu datang untuk menyelesaikan masalah, dan bukan justru lari dari masalah dengan memilih tempat yang sudah baik dan aman.
Rombongan dari kampus yang berkunjung ke pesantren rakyat di Sumber Pucung, Kabupaten Malang itu ternyata sudah dijemput oleh para anggota panitia, warga masyarakat, termasuk Ustadz Abdullah sendiri. Rupanya penjemputan itu sengaja dilakukan dari jarak yang cukup jauh dari lokasi pusat kegiatan pesantren. Hal itu mungkin saja dimaksudkan agar rombongan bisa sekaligus menyaksikan berbagai macam kegiatan pesantren rakyat di sepanjang jalan yang dilalui, yaitu di rumah-rumah warga dan sekitarnya.
Sambil berjalan kaki menuju tempat kegiatan peringatan isra’ mi’raj, saya dan juga rombongan ditunjukkan sendiri oleh Ustadz Abdullah Sam berbagai jenis kegiatan warga masyarakat sebagai bagian dari kegiatan pesantren rakyat. Misalnya, usaha kerajinan pandai besi yang bisa menyerap belasan pekerja, peternakan kambing yang dikelola atas kerjasama antara orang kaya dengan mereka yang tidak punya modal, tanaman sayur di sepanjang pinggir jalan di kampung itu, peternakan jangkrik, usaha kolam renang, kelompok seniman, tempat olah raga, tempat cangkrukan, dan lain-lain.
Dalam kegiatannya, pesantren rakyat tidak saja mengajari ngaji kepada para santri dengan kitab tertentu, melainkan juga menggerakkan masyarakat untuk bekerja dalam menyelesaikan problem-problem kehidupan bersama, misalnya problem ekonomi, sosial, keagamaan, kesenian, pendidikan bagi anak-anaknya, dan lain-lain. Oleh karena itu, santri pada pesantren rakyat bisa dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu santri inti, santri kalong, dan santri pendukung.
Disebut sebagai santri inti adalah mereka yang belajar mengaji kepada Ustadz Abdullah Sam dan mereka itu bermukin di pesantren rakyat itu. Jumlahnya tidak banyak, hanya belasan orang, dan semua tidak dipungut biaya. Sedangkan santri kalong adalah mereka yang pada setiap hari datang dan belajar di pesantren itu tetapi tidak menginap. Adapun santri pendudukung adalah siapa saja warga penduduk di desa itu yang berkeinginan belajar tentang pengetahuan dan ketrampilan apa saja yang diperlukan untuk mengembangkan dirinya.
Pembelajaran tentang berbagai jenis pengetahuan dan ketrampilan dimaksud dilakukan secara fleksibel, bebas, murah, dan mendasarkan pada prinsip kebersamaan dan atau tolong menolong antar sesama. Warga desa itu yang memiliki pengetahuan tentang peternakan, pertanian, kerajinan, kesenian, agama, dan lain-lain diminta mengajarkannya kepada warga lain yang membutuhkan. Atas bimbingan dan koordinasi pengasuh pesantren rakyat, yaitu Ustadz Abdullah Sam, kegiatan itu dijalankan. Di lokasi pesantren rakyat itu dikembangkan ketentuan yang disepakati bersama bahwa, siapa saja yang bisa hendaknya mengajarkan kepada mereka yang belum bisa, dan mereka yang berlebih agar menolong yang berkekurangan.
Aktifitas pesantren rakyat sehari-hari bukan sebatas menyangkut kegiatan kyai dan santri sebagaimana di pondok pesantren pada umumnya, melainkan berupa gerakan semua warga kampung untuk menyelesaikan problem hidupnya yang mungkin bisa dilakukan secara bersama-sama. Semboyan yang dikembangkan oleh pesantren rakyat adalah berbunyi, : bahwa semua orang boleh belajar, semua orang boleh mengajar, dan gelarnya boleh dibuat sendiri. Belajar di pesantren rakyat bukan dimaksudkan untuk mendapatkan sertifikat atau ijazah, melainkan untuk mendapatkan pengetahuan, wawasan, mapun ketrampilan yang dibutuhkan dalam kehidupannya sehari-hari.
Hal menarik lagi lainnya dari pesantren ini adalah bahwa untuk menggali aspirasi masyarakat dan kemungkinan penyalurkannya, maka di lokasi tertentu disediakan tempat berkumpul bagi warga kampung. Di tempat itu, semacam cangkrukan, mereka bisa berbincang, berdebat, dan berdialog secara terbuka bersama para tetangga. Melalui cara itu, kebersamaan bukan saja menyangkut hal yang bersifat fisik, melainkan juga dalam penggalian ide, pandapat, maupun lainnya. Kegiatan itu diberi sebutan jagong maton, atau mungkin saja artinya adalah berbincang bersama untuk mencari solusi terhadap hal-hal yang berguna yang dilakukan secara bebas dan terbuka namun dilandasi oleh suasana kekeluargaan. Akhirnya, dari kunjungan itu saya berpendapat bahwa, jika konsep pesantren rakyat ini dipahami secara mendalam, dikembangkan, dan kemudian diimplementasikan secara meluas, maka kegiatan ini akan menjadi kekuatan dan juga sebagai model pendekatan untuk membangun masyarakat. Wallahu a’lam. Oleh: Prof. Dr. Imam Suprayogo